Kamis, 18 Juni 2009

CerpenQ tingkat provinsi. Jelek yach??

Assalamualaikum n salam sejahtera buat para pengnjung pink butterfly...
Kali ini, aku akan mempostingkan cerpen penulis yang udah agak jadul. Cerpen ini telah lama dibuat, ketika lomba cerpen di tingkat provinsi, ketika penulis kelas dua. Meskipun tidak juara. Tapi penulis bangga dengan hasil penulis.

Terimakasih Maha Penolongku

Ejenak ia memandang puisi cantik yang telah ia buat kemarin dan pulpen pink yang secantik puisi yang telah ia buat, tidak ada yang bisa mengalihkan pandangannya walaupun hanya Rafi seorang. Sesekali ia melempar sejauh jauhnya pulpen itu.
“Kamu kenapa ? kamu mempunyai masalah ?”, tanya Rafi cemas.
“Ia memandang Rafi lekat lekat, ada perasaan campur aduk dihatinya, antara takut dan marah, kemudian ia berkata,”Raf, apa kamu ingat waktu kita pergi ke seorang peramal.
Rafi terhenyak sebentar, berfikir dengan seriusnya, tetapi tak ada satupun salah satu sel otak untuk menjawab pertanyaan kekasihnya,” Nggak tuh”.
“Yaela Raf, saat itu lho, kamu membawa aku ke seorang peramal.
“Emang pernah”,kata Rafi berlagak linglung.
“Rafi sayangku si kakek pikun”, panggilnya dengan sebal yang ia tahan.
“Iya, nenek cerewet”, jawab Rafi.
“Waktu itu aku berulang tahun, dan kamu berjanji akan memberi surprise, eh ternyata kamu bawa aku ke peramal, kan udah aku bilang, kalau aku nggak suka diramal, kamu tetap ngotot”, kata Nana sambil memandang sebal Rafi, eh yang dipandang malah nyengar ngengir.
“Kenapa loe cangar cengir, udah tahu kasalahan fatal loe”, kata Nana.
“Lalu ?”, tanya Rafi dengan tetap berlagak linglung.
Nana memalingkan wajahnya darinya ada raut sebal, tapi ia tahan di dada, ia mengambil napas, dan bercerita,”Waktu itu peramal berkata,” Nak, hati hatilah dalam hidup kalian, karena sebentar lagi hubungan kalian akan berakhir”, kata Nana sambil menirukan perkataan misterius peramal itu.
“Gara gara peristiwa naas itulah, aku naik angkot sendiri”, sebal Nana.
“Salah kamu sendiri, aku tanyain kamu berani apa nggak, malah kamu lari langsung plencing”, kata Rafi yang tak kalah sebalnya dengan Nana.
“Mau diterusin nggak ceritanya ?”, kata Nana.
Rafi mengangguk sebagai simbol setuju, tetapi yang menjadikan ia penasaran dan dipertanyakan ’Emang berkaitan dengan naik angkot sendiri?’.
“Di angkot itu aku melihat seorang bapak bertubuh kekar dan gemuk, rambutnya sudah mulai memutih, kumisnya sangat tebal melintang di bawah hidungnya, dan jenggot yang tertempel di dagu yang kotak”.
“Aku takut banget Raf, aku takut nanti akan diculik sama orang itu”, kata Nana memegang tangan Rafi.
“Kamu takut karena nggak akan pernah ketemu pangeran seganteng aku ?”, goda Rafi
“Kamu itu udah jadi kakek pikun, linglung, suka nyengir, ge-eran lagi, kalo kamu suka nyuri pembicaraanku, aku nggak mau crita ah”, kata Nana.
Rafi diam bak anak TK yang sedang diajari gurunya, tetapi bukannya ia takut tidak akan diceritai, yang ia takuti dia akan diomeli Nana sampai telinganya memerah.
“Diam diam ia membuka tasnya, lalu memberi pulpen ini kepadaku”, kata Nana dengan memberi pulpen yang selalu dibawanya,“Tanpa tersadar otakku menyuruh aku untuk berbicara’ini berapaan pak ?’.
Rafi berkata,“Kan dia baik ! kamu sih terlalu suka berprasangka buruk orang”.
“Raf, aku takut kalau pulpen ini ada guna gunanya bila aku memakai pulpen ini, aku akan putus denganmu”, rengek Nana.
“Ya Allah Nana, ini hanya sebuah pulpen, kalaupun kita putus, bukan karena pulpen dan ucapan peramal itu”, kata Rafi
“Raf, aku sayang kamu, aku nggak mau kehilanganmu”, sanggah Nana.
“Aku tahu kalau kamu sayang aku, aku juga, tapi keyakinanmu salah”.
Ops disensor aja ya pacarannya, Esoknya Nana yang masih digeluti dengan rasa takut, semakin menggila.
“Nana, mengapa kamu terlambat”, tanya Bu Dewi ketika Nana baru saja masuk ke kelas sejak bel berbunyi 30 menit yang lalu. Yang ditanya hanya terdiam.
Nana, akhir akhir ini nilaimu merosot, kamu juga sering membuat ketidaknyamanan teman temanmu waktu belajar, sekarang kamu terlambat, tapi untuk sementara ini, kamu saya maafkan silahkan duduk”,kata Bu Dewi.
Nana berjalan ke tempat duduknya, muak dia dengan guru terkiller itu, tapi kemuakannya berpindah ke pulpen misterius itu, tanpa ia sadari dan sudah menjadi rutinitas Nana, ia membuang pulpen itu, tapi pulpen itu menuju tepat di muka Bu Dewi.
“Nana, kamu tadi sudah terlambat, sekarang membuat ketidaknyamanan kelas ini lagi, dengan terpaksa, silahkan keluar dari kelas”, bentak Bu Dewi.
“Nana berjalan keluar, ingin rasanya ia menonjok guru paling menyebalkan.
“Nana, ini dari Bu Dewi, kata beliau disuruh memberikan kepada orang tuamu”, kata Anis sepulang sekolah. Eh yang diberi langsung nyelonong pergi.
“Nana, kamu ini sebagai murid teladan, tidak sepantasnya kamu mendapat peringatan dari sekolah. Sebagai hukumannya, kamu TIDAK DIPERBOLEHKAN KELUAR KAMAR SELAMA SATU BULAN, kecuali sekolah”, bentak bokap Nana.
Hati Nana semakin teriris iris lagi, hari harinya penuh dengan rutinitas memandang puisi dan pulpen misterius, takut, takut, dan takut yang selalu menutupi hatinya, walaupun Rafi menyadarkan Nana berkali kali.
Hingga tanpa disadari ia telah menginjak ujian kenaikan kelas yang terakhir, dan Bu Dewi sebagai pengawas ulangan.
“Oh my God, aku nggak membawa alat tulis satupun”, desis Nana.
Bu Dewi gituloh, bila muridnya bergerak sedikitpun akan dikeluarkan dari ruangan. Hah, sadis baget !
Tiba tiba ia teringat bahwa masih membawa pulpen misterius itu yang selalu tak pernah absen dari genggamannya. Ada ketakutan terbaca dari raut wajahnya, ketakutan ia disertai dengan kebingungan, haruskah ia putus dengan Rafi karena ia memakai pulpen itu, atau dimarahi ortunya karena ia tak menjawab satupun dari soal ulangan.
Ia melakukan acara berfikirnya kembali, diam diam ia mengiyakan apa kata Rafi yang selalu mengingatkannya.
Tanpa sengaja tangannya mengambil pulpen misterius itu, dan menggoreskan tintanya, tiba tiba pandangannya gelap, tubuhnya lunglai, dan ia tak tersadarkan diri.
“Hari hari berikutnya kian tenggelam, ia jarang bertemu dengan Rafi, ia pun tak meminta ujian susulan karena penggoresan pulpen misterius itu, senyumnya juga mulai pudar dari wajahnya yang cantik.
Tetapi hari beratnya bertambah ketika penerimaan rapor kenaikan kelas.
‘Deg’ terasa darahnya tumpah dari alat pemompa, ia berlari menerobos orang orang yang mengantri untuk mengambil rapor menuju taman. Ingin ia berteriak sekencang kencangnya, tapi tetesan air mata yang keluar dari matanya yang ia dapatkan.
“Sabar Na, pasti masalah itu ada hikmahnya”, kata Rafi menenangkan hatinya.
Nana menghindar darinya, ada perasaan takut yang berlebih di hatinya.
“Na, apa kamu masih meyakini perkataan peramal gadungan dan takut bila ada guna gunanya pulpen misterius itu ?”, tanya Rafi sambil mendekati Nana.
Nana memalingkan wajahnya dari rafi, diam ia berfikir ! lalu ia memandang sedikit demi sedikit Rafi, hingga ia memandang lekat lekat pacarnya.
“Na, ramalan dulu itu hanya sebuah permainan, ramalan itu hanya hiburan semata, tidak lebih, kalau toh berpisah, apa karena peramal itu menurunkan malaikat khusus dari Allah untuk memisahkan kita, malaikat jahat gitu ?”, kata rafi.
Nana mengembangkan senyumnya, ia pandang lekat lekat wajah Rafi, ada kekaguman yang muncul di hatinya.
“Nah gitu dong ! senyum ! Na, apa kamu mau disebut orang yang tak percaya dengan takdir, apa kamu mau disebut orang syirik ?”, kata Rafi.
Nana mengalihkan pandangan ke langit nan biru, senyumnya kembali merekah, dan berkata,” Raf, aku kan anak islam, mana mungkin aku menjadi syirik gara gara hanya mainan kuno dari peramal gadungan itu. OK deh, aku setuju dengan perkataanmu itu, thanks Raf, kamu udah membantu aku”.
Nana berlari sekencang kencangnya di taman itu, raut wajahnya yang selalu menegang dan sedih, mulai berubah, ia tertawa tawa kecil.
Rafi memandang lagit biru, ada rasa syukur yang mendalam darinya, rasa terimakasih kepada Tuhan sang Maha Penolong, yang telah menolong umatnya dari bahaya kesyirikan, terutama kepada kekasihnya, Nana,”Thanks Allah”.

Demikian cerpen dari penulis, kurang halus ya bahasanya? Karena waktu itu penulis harus sduduk di depan laptop mengerjakan cerpen itu dalam waktu 5 jam. Dengan nerveus mandangi lawan lomba lainnya yang sibuk mengerjakan cerpen. Sebenarnya ide penulis itu berasal dari pengalaman penulis sendri. Tapi ini agak privasi. Mau tahu ? kirim lewat emailQ aja. Ha..ha...

NB : Upz, maksudnya aku g punya hub khusus ma cowok lho!!!

Tidak ada komentar: